ANALISIS KEKERASAN DALAM DUNIA
PENDIDIKAN
TEORI KONFLIK VS STRUKTURAL FUNGSIONAL
DISKUSI BERSAMA DR. AMRAZI ZAKSO
Penulis : Iwan Ramadhan
Mahasiswa S2 Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP UNTAN
NAK
KALAU BESAR MAU JADI APA?
Kalimat
tersebut yang sering pertama kali diucapkan ketika orang yang lebih tua
menanyai seorang anak. Apakah ada yang salah, secara umum memang tidak ada yang
salah, tetapi pandangan psikologis memuat sesuatu yang berbeda pandangan kita
yang ditanyakan:
YANG
BENAR ADALAH NAK KALAU NANTI KAMU BESAR MAU BIKIN APA?
Dengan
pertanyaan seperti ini maka pemikiran seorang anak, akan mengarah kepada apa
yang akan dibuatnya sesuatu yang menghasilkan, Harus mengedapankan ini dulu,
yang lebih sederhana dulu
jika
menggunakan pertanyaan “kalau besar mau jadi apa maka akan sulit anak mengerti
jadi apa kelak dia sudah besar.
Dalam
kajian Dr. Amrazi Zakso mengatakan :
Pembentukan
karakter (duluan muncul) tahap awal menjadi basis utama pendidikan :
A. Jujur
B. Setiakawan
C. Toleransi
Literasi
dasar
A. Membaca
B. Menulis
C. Berhitung
D. Sains
E. Kewarganegaraan
(dibutuhkan untuk bisa mengembangkan sebuah Toleransi)
Dengan
literasi dasar mereka berfikir untuk mengeluarkan produk apa,
1. Kompetensi dan
akhirnya menghasilkan,
A. Berpikir kritis
B. Inovasi
C. Kolaborasi
D. Kreatif
Ini
sebenarnya yang diinginkan oleh sebuah pendidikan yang sempurna,
Kembali
lagi kepada “NAK KALAU BESAR MAU JADI APA? Yang dipikirkan orang kurikulum
anak bisa nantinya berspesialis, maka yang terjadi adalah mekanistik, jika
terjadi pergolakan maka akan terjadi bencana.
Analisis
Teori konflik
Kenapa
terjadi pengabaian terhadap anak, guru tidak sempat lagi, memerhatikan anak,
hanya memikirkan siswa harus mampu menguasai materi yang diberikan,
Adanya
perlawanan dominasi kelompok teori konflik, yang menyebabkan guru menjadi tak
berfokus pada siswa, misalnya guru masuk kelas ada siswa yang keluar karena
tidak suka dengan gurunya,
Bisa
saja sebenarnya guru menginginkan dominasi di dalam kelas, dan pada akhirnya
siswa mengalami pembangkangan atau sulit menerima pelajaran karena paksaan,
kunci terbesarnya adalha pemaksaan pada sistem kurikulum kita yang tidak
berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan,
Kurikulum
lebih menekankan spesialisasi mengakibatkan beban belajar anak menjadi berat,
di Indonesia jam belajar siswa dalam setahun sekitar 1500 sampai 1700 jam dan
guru yang beban mengajarnya berat, dan akhirnya mengeluarkan ekspresi yang
bersifat tidak efektif.
bandingkan
dengan negara yang pendidikannya lebih tinggi seperti Jepang dan Korea selatan
yang rata-rata jam mengajarnya hanya 1200 jam pertahun.
Dalam
teori konfliknya Weber, dengan beban mengajar yang banyak, beban belajar anak
bergantung pada beban materi, menyebabkan guru atau siswa menjadi sulit untuk
menjadi baik, prespektif guru menjadi gundah gulana, menjadi tidak karuan,
akhirnya siswa menjadi tak karuan juga.
Adanya
MOS dan OSPEK merupakan pemikiran max weber, yang menimbulkan terjadinya koflik
yang terjadi secara turun menurun. Senioritas dan junioritas, pada peristiwa
ospek, banyak terjadi kehilangan prespektif sosiologisnya, seperti yang kita
lihat tidak ada gunanya kegiatan-kegiatan tersebut malah akan melihat terjadi
koflik yang tidak kita inginkan, ini salah satu dampaknya.
Struktural
fungsional (ada yang tidak berfungsi)
Sub
sistem, yang masih kurang, orang tua mengantarkan anaknya kesekolah anaknya
menjadi tanggung jawab guru, padahal orang tua juga perlu tahu, fungsi
anak kesekolah untuk belajar di awasi oleh guru, namun peran orang tua disini
juga harus mengawasi dengan cara menjalin komunikasi yang baik kepada guru-guru
disekolahnya, namun bisa kita lihat orang tua hanya datang kesekolah ketika
anaknya terjadi sesuatu permasalahan, atau dipanggil oleh guru, bahkan orang
tua menjadi acuh tak acuh, karena sudah mengetahui kelakuan anaknya, disini ada
sub sistem dari orang tua yang taunya anak disekolah belajar, tidak melihat apa
yang terjadi dalam setiap kegiatan anaknya disekolah.
“Kalau
kekerasan terjadi disekolah, mestinya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi
yang dijadikan korban adalah korban kekerasan, birokrasi lebih mempertimbangkan
reputasi sekolah dibanding menyelesaikan permasalahan itu sendiri, dan akhirnya
guru tersebut yang menjadi sasaran kritikan bahkan terjadi ketienakan terhadap
guru, inilah yang terjadi di negara kita”.
Penulis : Iwan Ramadhan
Mahasiswa
S2 Program Studi Pendidikan Sosiologi
FKIP UNTAN
Comments
Post a Comment